Rabu, 04 April 2012

KINERJA PENGAWAS SEKOLAH DAN MUTU PEMBELAJARAN


Oleh : Hamrin
(Pengawas SMP/SM Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung)
Menarik apa yang diungkapkan oleh Saudara Enang Ahmadi, Kasi Pemetaan Mutu Pendidikan LPMP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam berita Koran Bangka Pos / Pos Belitung tanggal 7 Maret 2010, bahwa bila pengawas yang lalai membina sekolah bisa dikenakan sanksi  dan masyarakat peduli pendidikan bisa melakukan gugatan kepada pengawas maupun ke sekolah. Kemudian sekolah yang tidak ada persiapan Ujian Nasional atau anak drop out dan bila kepala sekolah yang lalai, maka masyarakat bisa minta ganti rugi atau bisa class action.
Pernyataan tersebut sah-sah saja adanya, artinya dasar hukumnya sudah ada dengan terbitnya Permendiknas No.63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Bahwa Stake holder pendidikan sepakat sekolah adalah sebuah sistem, Sistem terdiri sub. sistem yang saling sinergi satu sama lainnya yaitu antara Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Masing-masing komponen tersebut mempunyai tugas pokok dan fungsinya yang diatur pada Permendiknas sendiri-sendiri, Guru                        ( Permendiknas No. 16/2007 = 4 kompentensi ), Kepala Sekolah (Permendiknas No.13/2007 = 5 kompetensi) dan Pengawas Sekolah (Permendiknas No.12/2007 = 6 kompetensi). Khusus Guru dan Pengawas Sekolah diperkuat lagi dengan Permendiknas 39 Tahun 2009 dan Pedoman Tugas Guru dan Pengawas Sekolah.
                Tupoksi pengawas sekolah itu adalah menilai, membina dan melaporkan, setiap kunjungan ke sekolah ada dua hal yang dilakukan apakah supervisi akademik atau supervisi manajerial, kemudian dilakukan pembinaan dan hasilnya dilaporkan ke Kepala Dinas Pendidikan  pada kurun waktu satu semester atau laporan insidentil yang sifatnya kasus yang perlu segera ditindaklanjuti oleh pengambil keputusan.
Perlu disadari bahwa Pengawas Sekolah itu bukan eksekutor yang dapat mengambil kebijakan terhadap permasalahan yang ada di sekolah binaan, misalnya terhadap guru yang kinerjanya tidak baik, kepala sekolah yang tidak baik kinerjanya.Tugas pengawas sekolah hanya menilai, membina dan melaporkan. Keputusan akhir ada ditangan Kepala Dinas Pendidikan selaku pengambil keputusan, belum lagi bila ada campur tangan Pemerintah Daerah di era otonomi ini.
Bicara kinerja pengawas sekolah di sekolah binaan , sebagai contoh aspek supervisi akademik,  saya  berdasarkan SK. Kepala Dinas Pendidikan Kab.Belitung mendapat tugas 8 Sekolah bina untuk Manajerial dan 3 mata pelajaran dan 1 rumpun mata diklat produktif yang terdiri dari banyak mata diklat. Jumlah SMP/SM di Kab.Belitung = 42 sekolah. Kalau kita hitung 3 mapel saja, gurunya rata-rata 1 saja berarti jumlahnya 126 guru, kemudian rumpun produktif 7 SMK , jumlah gurunya = 77 orang. Total = 203 guru yang tersebar di 5 kecamatan, 4 diantara nya sekolah berada di kepulauan. Bila dalam 1 semester minimal 1 kali saja melakukan supervisi akademik, maka mulai dari tahun pelajaran baru sampai dengan akhir tahun pelajaran, maka tidak mungkin guru akan terlayani untuk disupervisi akademik seluruhnya dikarenakan geografis sekolah paling jauh di daratan 63 Km yang ditempuh dengan motor dinas, begitu pula kalau di kepulauan tidak mungkin biayanya mahal belum lagi cuaca yang sering tidak bersahabat. Idealnya satu orang guru disupervisi oleh seorang pengawas sekolah maksimal 4 kali yang terdiri dari supervisi akademik biasa dan supervisi klinis, bias saja 2 kali oleh pengawas sekolah, 2 kali oleh kepala sekolah untuk sebagai bandingan, sehingga dapat menentukan kinerja guru yang ideal. Terutama sekali bagi guru yang sudah mendapat sertikat pendidik  dan sudah mendapat tunjangan profesi 1 kali gaji pokok tentunya harus beda kinerjanya dibandingkan dengan guru yang belum di sertifikasi, karena belum S1 atau masih menunggu giliran mendapat kuota. Belum lagi apabila kita telusuri keberadaan pengawas TK/SD dengan jumlah TK/SD yang tidak sedikit 186 sekolah di Kabupaten Belitung yang dibina oleh  9 orang pengawas sekolah.
Bicara masalah mutu pembelajaran di sekolah binaan , pengawas sekolah dalam hal ini pengawas bina terus berupaya bersama  kepala sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan berbekal latar belakang pendidikan masing-masing mengawal kinerja guru di kelas. Fokus pembinaan guru oleh pengawas sekolah adalah Standar Isi (Permendiknas No.22/2006), Standar Kompetensi Lulusan (Permendiknas No.23/2006) , Standar Proses (Permendiknas No. 41/2007), Standar Penilaian (Permendiknas No.20  yang apabila dilaksanakan dengan komitmen, konsisten dan konsekuen yang tinggi, maka akan terjadi perubahan mutu pembelajaran yang signifikan.
Permasalahannya tidak mungkin setiap saat pengawas sekolah terus mengawasi kinerja seorang guru, apakah setelah dibina tetap seperti itu, hal ini tentunya terpulang kepada hati nurani seorang guru dalam menjalankan tugasnya bahwa diawasi atau tidak diawasi oleh pengawas sekolah ia tetap komitmen menampilkan sosoknya di depan siswa dengan sebaik-baiknya sesuai dengan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah dirancang sebagaimana filosofi KTSP apa yang ditulis itu yang dikerjakan dan apa yang dikerjakan itu yang ditulis.
Sebenarnya yang paling tahu kinerja guru di kelas adalah peserta didik, merekalah paling tahu sepak terjangnya guru di kelas, oleh karena itu keberhasilan seorang guru itu bisa saja diminta pendapatnya dari peserta didik, itupun kalau peserta didiknya mau jujur, objektif apa adanya mengatakan kinerja gurunya atau kalau mau betul di setiap kelas dipasang kamera tersembunyi yang sentralnya di ruang kepala sekolah, sehingga kepala sekolah akan lebih leluasa apa yang dikerjakan oleh gurunya di dalam kelas, misalnya dalam satu penampilan proses pembelajaran berapa persentase berdiri dan duduk atau berapa persentase berbicara artinya guru yang aktif atau berapa persentase siswa yang aktif. Semua orang siapa saja pasti sudah mengetahui bahwa  ukuran mutu sebuah sekolah secara mudah diomongkan dan dapat diukur dari berapa persentase jumlah kelulusan, yang merupakan indikator kinerja kepala sekolah sekaligus kinerja pengawas sekolah dan secara keseluruhan kinerja Kepala Dinas Pendidikan.
    Oleh karena itu berangkat dari persoalan diatas kiranya semua pihak termasuk LPMP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai lembaga penjaminan mutu ikut bertanggung jawab terhadap mutu pembelajaran dan mutu pendidikan yang dikawal sampai ke dalam kelas. Secara jujur selama ini kita belum dapat menetapkan guru mana dalam satu kabupaten yang baik mengajar matematika dan mata pelajaran lainnya, dikarenakan belum mendukungnya sarana prasarana, jumlah pengawas sekolah dan terpenting bahwa belum semua pengawas sekolah memiliki sertifikat pengawas sekolah yang dapat mendukung kompetensi pengawas sekolah secara profesional. Apabila semua unsur tersebut sudah terpenuhi secara maksimal maka silahkan saja masyarakat mengadakan class action kepada pengawas sekolah terhadap lalainya memberikan pelayanan kepada sekolah.
( Tulisan ini dimuat di Pos Belitung/Bangka Pos, pada tgl. 25 Maret 2010 ).

Senin, 02 April 2012

MANFAAT ANALISIS KONTEKS BAGI GURU


Oleh : Hamrin
Pengawas SMP/SM Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung
Konsep Analisis Konteks telah diperkenalkan di dunia pendidikan khususnya oleh Direktorat Pembinaan SMA Kemendiknas waktu itu, sejak tahun 2009 melalui kegiatan TOT Fasilitator KTSP tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diadakan di tingkat Nasional. Konsep tersebut berkembang setelah melalui uji coba di lapangan (di SMA), dari Provinsi ke Kabupaten/Kota melalui Sekolah yang dijadikan Pilot Project mengajak sekolah lain dalam kegiatan Bimtek KTSP. Seiring perjalanan waktu konsep Analisis Konteks   mengalami perubahan-perubahan terakhir tahun 2010 dan diperkuat lagi tahun 2011 dengan konsep Analisis Konteks dalam Pembelajaran dan Penilaian. Secara utuh konsepnya masih yang lama yaitu terdiri dari dua konsep besar ada konsep Analisis Konteks untuk menyusun Dokumen I KTSP, dan ada konsep Analisis Konteks untuk menyusun Dokumen II KTSP.
Penajaman dan pemantapan konsep Analisis Konteks bagi guru (Dokumen II KTSP) adalah untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Melalui analisis konteks ini guru terlebih dahulu menganalisis secara mendalam penuh kehati-hatian terhadap 4 dokumen yaitu : (1) Analisis Standar Isi, (2) Analisis Standar Kompentesi Kelulusan, (3) Analisis Standar Proses, dan (4) Analisis Standar Penilaian.
Sebagai Pengawas Sekolah, saya sudah memulai menerapkan konsep Analisis Konteks ini sejak tahun 2009, di SMA, SMK dan SMP baik Negeri maupun Swasta dengan hasil belum seperti yang diharapkan. Kendala utama adalah pada Kepala Sekolah, Kepala Sekolah belum secara penuh menerapkan Kepemimpinan Pembelajaran artinya mereka tidak bersungguh-sungguh mengawal perubahan konsep baru dalam proses pembelajaran, disamping itu pelimpahan delegasi tidak sepenuhnya diberikan kepada Wakil Kepala Sekolah (untuk SMP) dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum (untuk SMA/SMK). Dari pengawas sekolah sendiri selalu berusaha mengawal konsep ini mulai tahun pelajaran baru menguatkan kembali konsep ini, ada sekolah menyikapinya dengan mengadakan Rapat Pembinaan Awal Tahun, mengadakan Workshop Analisis Konteks. Namun semua kegiatan tersebut belum ada produk akhirnya sama sekali berupa dokumen Analisis Konteks sebagai dasar untuk menyusun Silabus dan RPP. Sementara waktu terus berjalan, dan pengawas sekolah pun melaksanakan tugasnya yaitu membina, memantau, menilai, mensupervisi, dan melaporkan dengan kurun waktu semester ganjil dan semester genap pada tahun pelajaran berjalan.
Kondisi objektif yang ditemukan bahwa belum semua sekolah, semua guru menerapkan konsep analisis konteks dalam pembelajaran dan penilaian, bila diprosentasekan baru mencapai sekitar 5 % sekolah dan guru melaksanakan itupun belum begitu baik. Dari Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung sudah pernah mengadakan Bimtek KTSP yang didalamnya ada Analisis Konteks, melalui Tim Angka Kredit sudah dicoba memasukkan komponen Analisis Konteks untuk persyaratan naik pangkat, kemudian diadakan Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) oleh Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) diperoleh hasil sebagai berikut :
1.      Belum semua sekolah, semua guru menerapkan Analisis Konteks.
2.      Proses pembelajaran masih belum sesuai dengan standar isi, standar SKL, standar proses,dan standar penilaian.
3.      Hasil belajar belum sesuai dengan standar ( KKM ).
Timbul pertanyaan Mengapa harus Analisis Konteks ? jawabannya adalah dengan memberikan data hasil supervisi akademik pengawas sekolah dan hasil penelitian tindakan kelas (PTS) ditemukan bahwa :
1.      Guru masih sangat lemah mengembangkan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) melalui Kompetensi Dasar (KD).
2.      Proses pembelajaran masih terfokus pada guru.
3.      Proses penilaian belum sesuai dengan proses pembelajaran.
4.      Adminitrasi penilaian belum dilakukan secara bertahap dengan baik.
Nah, melalui Analisis Konteks maka semua persoalan guru akan dapat segera diatasi, asalkan konsep ini dilakukan dengan konsisten dan berkesinambungan. Apabila sekolah (guru dan kepala sekolah) tidak mau berubah, maka persoalan pembelajaran akan tetap ada, karena pengawas sekolah dalam menjalankan tugas sudah standar yaitu memakai Buku Kerja Pengawas Sekolah yang didalamnya terdiri Supervisi Akademik dan Supervisi Manajerial. Ketika Supervisi Akademik dilakukan maka dokumen yang pertama sekali ditanya adalah adakah dokumen Analisis Konteks dimiliki oleh guru ? Dengan dimilikinya dokumen Analisis Koteks selanjutnya dapat menjawab dokumen lainnya. Bila Analisis Standar Isi sudah dibuat dengan baik maka Silabus akan dibuat dengan baik, bila Analisis Standar Proses sudah dibuat dengan baik maka RPP akan dibuat dengan baik, dan bila Analisis SKL dan Analisis Standar Penilaian sudah dibuat dengan baik maka Penilaian Pembelajaran akan dibuat dengan baik.
Selain itu manfaat Analisis Standar Isi seorang guru akan dapat dengan mudah merancang Penelitian Tindakan Kelas (PTK), bahwa prinsip PTK yaitu tidak menganggu proses pembelajaran, bagaimana merancang waktu agar tidak menganggu proses pembelajaran, jawabannya adalah mengalokasikan waktu secara benar melalui analisis KD, Indikator Pencapaian Kompetensi, dan Alokasi waktu dipastikan tidak akan menganggu proses pembelajaran.Bagi KD yang tahap berpikirnya masih rendah tentu saja dapat dialokasikan waktunya tidak begitu banyak untuk jam tatap mukanya, bagi KD yang sulit dapat disiasati dengan memperbanyak alokasi waktu dan jam tatap muka, sehingga tidak menganggu proses pembelajaran. Penulis yakin apabila seorang guru tidak menggunakan Analisis Standar Isi, maka dikhawatirkan akan menganggu proses pembelajaran apabila akan melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Ada argumentasi dari guru bahwa tidak melalui Analisis Konteks proses pembelajaran dapat berjalan lancar dan bila Analisis Standar Isi, Analisis Standar Proses dibuat tidak perlu membuat Silabus dan RPP. Hal ini keliru besar justru dengan Analisis Konteks ( Analisis Standar Isi, Analisis Standar Proses ) maka Silabus dan RPP akan semakin baik, karena sudah dianalisis secara benar dan siap dioperasionalkan.
Oleh karena itu, penulis masih mengharapkan sekali semua guru dari jenjang SMP/SMA/SMK Negeri/Swasta untuk menerapkan konsep ini secara berkesinambungan tidak berhenti pada tataran administrasi saja, melainkan dilanjutkan pada tataran pelaksanaan di dalam/di luar kelas, sehingga sesuai dengan pradigma KTSP yaitu lakukan apa yang ditulis, tulislah apa yang akan dilakukan atau sederhananya apa yang ditulis di Analisis Konteks, Silabus, dan RPP akan sama dengan penyampaian guru dalam proses pembelajaran. Lebih daripada itu penulis menginginkan para guru mengkaji manfaat analisis konteks ini dalam pembelajaran dan penilaian, apabila terdapat kekurangan-kekurangannya mari kita diskusi untuk diadakan perbaikan seperlunya. Tidaklah mungkin sebuah konsep dikatakan tidak bermanfaat sebelum dilakukan uji coba kebermanfaatannya. Mari kita positif thinking terhadap konsep Analisis Konteks ini mulai dari guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah, sehingga diperoleh pembelajaran yang bermutu sesuai dengan situasi, kondisi sekolah dan Standar Nasional Pendidikan.